Sumber Antaranews
Jakarta - Jumlah TKW ke luar negeri terus bertambah setiap tahun dan pada tahun 2010 tercatat 4,25 juta orang yang tersebar di Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, Hongkong, belum ditambah yang illegal.
Bersamaan dengan itu, jumlah kasus yang menerpa TKW, mulai dari pelecehan seksual, penyiksaan sampai pembunuhan juga terus bertambah. Perempuan-perempuan dari desa miskin dengan berani pergi ke luar negeri sebagai TKW atau pembantu rumah tangga, menantang rana asing baik budaya, bahasa dan lingkungan.
Masalah TKW sampai sekarang bagai fenomena gunung es, yakni sebagai penghasil devisa, tulang punggung keluarga, namun satu per satu TKW ini telah menjadi sasaran penyiksaan, perkosaan, kekerasan dan hukuman mati.
Tindak kekerasan terhadap perempuan bisa diartikan berbeda oleh orang per orang. Definisi yang disepakati dalam Konferensi Dunia tentang Perempuan dalam Pembangunan di Beijing 1995 mengartikan “kekerasan terhadap perempuan” sebagai berikut yakni setiap tindakan kekerasan berdasarkan jender yang menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau secara psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melaksanakan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi (Beijing Platform of Action no.113).
Menurut pemantauan Komnas Perempuan, tahun 1998 – 2010 ada 6.266 kasus kekerasan seksual yang dialami pekerja migran, belum termasuk 366 buruh wanita yang meninggal teraniaya. Kekerasan lainnya sebenarnya sudah dimulai sejak pemberangkatan seperti pelecehan dan diberi dokumen palsu, di tempat kerja seperti gaji tidak dibayar dan dokumen penting ditahan majikan, dan saat kepulangan ke kampung halaman ada pungutan liar, mulai dari bandara sampai di desa. Terjadi ketidakadilan yang menerpa TKW yang sudah bekerja keras, meninggalkan keluarga ribuan mil jaraknya, tetapi media, masyarakat dan pemerintah cenderung merendahkan dan memarjinalkan TKW.
Komunikasi semu dalam permasalahan TKW sudah dimulai dari rumahnya sendiri. Sebanyak 90% dari buruh migran Indonesia (BMI) yang keluar negeri adalah perempuan. Dalam konteks ini, telah terjadi perubahan sudut pandang, di mana kalau selama ini laki-laki disimbolkan dalam budaya sebagai pencari nafkah, telah “membiarkan” perempuan – istri atau anak gadisnya—pergi jauh mencari uang ke negeri asing.
Bahkan banyak keluarga miskin di desa yang mati-matian berusaha mencari uang agar perempuan bisa menjadi TKW ke luar negeri. Pada tahapan ini, tampak komunikasi semu dengan mendorong istri atau anak gadis menjadi TKW, berarti secara tidak langsung telah membuat perempuan menjadi objek. Mengapa hanya 10% migran laki-laki yang ke luar negeri?
Akar masalah
Apa sebenarnya akar permasalahan dalam kasus TKW ini? Kemiskinan di desa-desa seiring dengan globalisasi dan industrialisasi telah membuka peluang kerja luas bagi perempuan.
Dengan alasan untuk memperbaiki kehidupan keluarga, jutaan perempuan Indonesia menjadi (KW) di luar negeri. Ini adalah sudut pandang perempuan untuk melakukan perubahan dari kemiskinan di desa agar menjadi lebih baik. Selain itu, juga karena kearifan lokal budaya seperti tahan menderita, orang miskin harus kerja, kepasrahan dan nrimo, bisa menjadi istimewa karena bisa ke luar negeri, merupakan alasan arus TKW ke luar negeri.
Kasus TKW juga menjadi realitas tak berujung karena setiap saat selalu ada TKW yang teraniaya. Telah terjadi realitas komunikasi semu pada TKW, di satu sisi sebagai pahlawan devisa atau tulang punggung keluarga, tapi di sisi lain menjadi kelompok terbungkam karena terus mendapat penganiayaan mulai dari pemberangkatan, di tempat kerja sampai pulang lagi ke kampung halaman.
Media massa sebagai media powerful tidak banyak ikut memecahkan masalah TKW. Berita kekerasan terhadap TKW di luar negeri tidak berpengaruh terhadap minat perempuan Indonesia menjadi TKW. Kelompok TKW yang dianggap sebagai kelompok terbungkam mempunyai cara sendiri untuk melawan keadaan kehidupan, seperti perempuan Madura yang memilih jadi TKW sebagai carok simbol atau bentuk resistensi untuk melawan keadaan dengan menggantikan laki-laki yang selama ini disimbolkan sebagai pencari nafkah.
Dalam pemahaman masyarakat, mereka yang pergi ke luar negeri, seperti mahasiswa Indonesia yang mau belajar di luar negeri, sekurangnya harus bisa berbahasa Inggris dan merupakan mahasiswa pintar. Sekarang ini, anak gadis dan ibu rumah tangga yang selama ini duduk di dapur sambil menanak nasi dan mengasuh anak, juga bisa terbang ke luar negeri.
Ada kebanggaan tersendiri bahwa perempuan-perempuan lugu bisa bekerja di luar negeri, meski hanya menjadi pembantu. Rata-rata mereka adalah anak buruh tani atau petani miskin, sekarang bisa naik pesawat terbang pergi jauh ke negeri orang. Keyakinan ini diperkuat dengan banyaknya kemudahan peraturan yang disediakan Pemerintah.
Konsep pemberdayaan perempuan (empowerment) sesungguhnya bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul daripada laki-laki, namun untuk mengidentifikasi bahwa kekuasaan bukan sekadar dalam rangka dominasi yang satu terhadap yang lainnya, melainkan dalam rangka kapasitas perempuan untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Yang diperjuangkan adalah upaya memberdayakan perempuan dalam pemenuhan hak mereka menentukan pilihan dalam kehidupan.
Siap bekerja keras, tahan menderita, orang miskin harus kerja, telah mendorong perempuan keluar dari perangkap kemiskinan dan dominasi laki-laki, untuk pergi jauh ke negeri orang. Konsep ini sudah ditunjukkan oleh perempuan-perempuan Madura dengan kearifan lokal carok simbol yakni bentuk resistensi untuk melawan penindasan yang dilakukan laki-laki.
Perempuan vs perempuan
Siapa sebenarnya yang memikirkan nasib perempuan Indonesia yang tersiksa, terpenjara dan tersia-sia di luar negeri sebagai TKW?
Kalau selama ini asumsi bahwa perempuan menjadi subordinat karena ada dominasi kaum laki-laki ternyata ada dominasi bentuk lain yakni antara perempuan dengan perempuan. Tara Madden (2000), pakar dan pengamat masalah perempuan dalam buku Women vs Women menyimpulkan .kehidupan konflik perempuan sebagai berikut: “.ternyata dalam diri perempuan selama ini selalu terjadi konflik yang kritis dengan sesama jenis".
Perempuan seringkali merasa belum bisa menganggap perempuan lain. sebagai makhluk yang dapat memberikan rasa aman di lingkungannya. Perempuan masih menganggap bahwa perempuan lain adalah ancaman yang membahayakan dirinya dalam karier, rumah tangga dan pribadi. Hal tersebut yang menyebabkan perempuan lebih memilih berteman dengan laki-laki daripada dengan perempuan.
Dengan pemikiran itu, Madden mellihat “pertempuran di antara perempuan” merupakan lautan konflik yang sulit terselami karena perempuan seringkali tidak jujur dan tidak berani mengungkap hal yang sebenarnya dan bisa jadi juga karena mereka menghindari konflik terbuka.
Ini semua karena perempuan lebih menggunakan perasaan dalam mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Masalah pertikaian perempuan sekarang ini belum menjadi wacana karena belum mengemuka secara formal. Padahal, kendala ini menurut Madden, akan terus terintenalisasi dalam diri perempuan dalam wujud sikap, perilaku, pemikirannya.
Ketika sekelompok buruh perempuan di pabrik di Jakarta Timur melakukan demo untuk protes terhadap kesejahteraan serta upah buruh, tidak banyak buruh perempuan lain yang mau mendukung, hanya karena takut kehilangan pekerjaan.
Kondisi ini dipelihara terus oleh majikan, sehingga ketidakadilan yang menerpa perempuan terus berlanjut, hanya karena sesama buruh perempuan tidak ada yang saling mendukung. Fenomena ini juga ditunjukkan bagaimana sikap majikan perempuan yang suka menindas pembantu perempuan.
Jumlah perempuan Indonesia yang lebih banyak dibanding laki-laki sebenarnya merupakan suatu potensi untuk bersama-sama mendobrak kekuasaan laki-laki. Namun, sampai sekarang jumlah yang banyak itu belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi perempuan.
Kondisi ini ditambah dengan sikap perempuan yang cenderung memilih untuk mengalah, karena terlalu lama terjebak rutinitas sebagai ibu rumah tangga serta meningkatkan peran dan kesejahteraan perempuan. Ini juga dibuktikan ketika kuota 30% untuk kandidat perempuan di legislatif, ternyata hanya mencapai 10% karena perempuan lebih suka memilih kandidat laki-laki dari pada kandidat perempuan.
Dalam konteks TKW, maka persaingan terselubung antarperempuan di desa-desa miskin juga sudah mulai kelihatan. Kiriman dari luar negeri telah mengubah gubuk menjadi rumah mewah, anak-anak bisa sekolah, suami pengangguran bisa punya modal usaha, dan sawah yang dulu digadaikan kini sudah menjadi milik sendiri, telah menggoda perempuan desa lainnya untuk mencoba peruntungan di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga.
Apalagi para mantan buruh migran itu kini memiliki penampilan yang berbeda, mulai bergincu, pakai gelang emas, yang dapat membuat perempuan lain menjadi iri. Ketika ada kasus TKW yang pulang berdarah-darah dari luar negeri, atau bahkan sudah menjadi mayat, perempuan desa ini juga tidak gentar.
Keadaan emosional, antara keinginan membahagiakan keluarga dan dorongan mencari nafkah sehingga mengalami hati yang retak karena peran ganda tersebut, telah dimanfaatkan laki-laki di desa yang kemudian memilih untuk menjadi penunggu rumah.
Akar permasalahan kepergian perempuan ke luar negeri, bukan hanya untuk perbaikan atau persaingan sesama perempuan di desa, tapi laki-laki atau bapak tani telah mengobjekkan perempuan desa dengan mengaduk-aduk emosional perempuan. Ini terbukti hanya 10% buruh migran laki-laki yang berani ke luar negeri.
Salah satu aspek nonbahasa adalah peran media massa sebagai sarana powerful untuk dapat mempengaruhi masyarakat. Bahasa di media merupakan alat pembingkaian yang dilakukan secara sadar oleh media.
Mengapa media secara gencar mengemukakan pemberitaan tentang kasus TKW, namun di sisi lain arus TKW tetap terus mengalir? Berita kekerasan terhadap TKW di media massa seolah-olah tidak berpengaruh terhadap minat TKW untuk mencoba peruntungan di negeri orang. Apakah kepergian TKW karena segala urusan dan kebijakan Pemerintah semakin mudah?
Ambil contoh, untuk tahun 2010, LKBN ANTARA telah menyiarkan sekitar 231 berita mengenai TKW dengan dua angle yakni kekerasan pada TKW serta tanggapan pemerintah atau akademisi terhadap kasus tersebut.
Dari hasil analisis angle judul dan lead pada sudut tanggapan pemerintah maka isi berita hanyalah sebagai berikut: Presiden minta menteri terkait agar memperbaiki UU ketenagakerjaan, Ibu Negara minta agar TKW memahami isi dokumen, akademisi minta moratorium dalam kasus TKW, Menaker dorong TKW meningkatkan kualitas, dan anggota DPRD minta perketat pengiriman TKW. Apakah tema-tema tersebut menjawab kepentingan TKW yang setiap saat terancam kekerasan?
Liputan media
Masalah perempuan di media yang kurang “membela perempuan” dapat dipahami karena latar belakang media itu sendiri dalam konteks ekonomi atau bisnis media, sehingga liputan kekerasan terhadap TKW masih dalam perspektif laki-laki. Dalam skema pembaca, wartawan Indonesia umumnya adalah laki-laki sehingga pemberitaan lebih berat dengan kaca mata laki-laki.
Wartawan laki-laki tumbuh dengan latar belakang situasi dan kondisi begitu banyak kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Pemberitaan media massa benar-benar menjadi media pengantar fakta semata yang selama ini tersembunyi dalam masyarakat. Kedua pakar ini melihat, apa pun alasan media dengan budaya patriarki, hendaknya mengerti permasalahan terhadap perempuan.
Jika dikaitkan dengan pandangan Juergen Habermas, cara liputan media massa juga menunjukkan ada distorsi dalam komunikasi oleh berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pemilik modal. Wartawan bisa saja beralasan, harus mengejar deadline, kepentingan modal, jalan macet, banyak peristiwa penting yang akan diliput, namun media perlu dikritik karena penyajian berita TKW yang sepihak justru merupakan bentuk komunikasi semu yang dilakukan secara sadar.
Komunikasi semu yang dimainkan media massa menyebabkan Pemerintah/Negara juga tidak melihat pentingnya berita kekerasan terhadap TKW. Dan bagi buruh migran sendiri, maka berita kekerasan terhadap TKW juga akan menjadi berita biasa.
Kondisi ini diperkuat oleh data bahwa arus buruh migran ke luar negeri terus bertambah, yang artinya berita-berita pelanggaran HAM terhadap buruh migran tidak memberi pengaruh apa pun baik bagi Pemerintah atau bagi buruh migran dan keluarganya.
Memang benar perempuan mempunyai posisi strategis dalam kehidupan keluarga dan bangsa. Perempuan maju maka bangsa akan maju. Dalam UUD 45 tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Tapi secara kontekstual, perempuan tidak memiliki keberanian untuk memperbaiki dan mengubah ketidakadilan atau kekerasan yang merugikan mereka. Kondisi ini merefleksi pada iklim perusahaan atau lembaga negara yang ada dengan membuat pilihan bagi pasangan suami istri yang bekerja di kantor yang sama, dan biasanya perempuan yang mengalah atau menempatkan perempuan terus menjadi bujangan seumur hidup sehingga kehilangan hak yang sama.
Apakah benar perempuan Indonesia terutama yang menjadi TKW adalah kelompok nrimo atas nasib mereka? Dalam konteks keluarga, perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga pada hakikatnya memang cenderung mengalah pada suami, sehingga tidak memandang kegiatan ekonomi sebagai dunia perempuan. Dunia perempuan tetap rumah tangga.
Ini bisa dibuktikan pada peruntukan uang dolar atau riyal yang mereka kirim dari luar negeri, yakni untuk memperbaiki rumah dan membiayai anak sekolah yang selama ini adalah tanggungjawab suami.
Dalam konteks ini, arus TKW menunjukkan bahwa perempuan Indonesia telah menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk keluar dari rumah. Urusan ke luar negeri sekurangnya melibatkan keluarga, pemerintah dan perusahaan pengerah tenaga kerja.
Di sini sudah terjadi komunikasi semu, karena di satu sisi ada peluang besar untuk pergi merantau menjadi TKW, tapi di sisi lain masih harus berhadapan dengan kekerasan yang dimulai dari UU, Inpres dan PP yang dibuat Pemerintah antara lain harus membayar sejumlah uang. Kedua, interaction yakni bagaimana hubungan perempuan ini dengan semua lini.
Teori-teori kritis menunjukkan bagaimana bentuk komunikasi transformasi yang dilakukan kelompok tertindas. Apa yang dilakukan TKW dengan tetap bertekad keras pergi ke luar negeri, meski musibah sudah di depan mata sejak keberangkatan, pada hakikatnya juga bentuk perlawanan atau pendobrakan terhadap ketidakadilan yang ada.
Kalau selama ini, sebagai pencari nafkah adalah laki-laki yang bisa berbuat semena-mena terhadap perempuan, mulai dilawan dengan cara pergi meninggalkannya untuk waktu cukup lama. Ini sudah dilakukan perempuan Madura yang memilih menjadi TKW sebagai carok simbol yakni bentuk resistensi terhadap kekerasan laki-laki sekaligus menunjukkan bahwa si miskin itu harus bekerja.
Perempuan lain yang bukan berasal dari Madura, pada dasarnya juga sudah melakukan hal sama, yakni bentuk perlawanan atau menunjukkan sudut pandang (stand point) sendiri dengan pergi jauh meninggalkan suami dan keluarga.
Semakin tertindas, maka perempuan akan semakin melawan keadaan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah membentuk pertemanan (friendship) dengan sesama perempuan atau antar TKW. (***)
*) Penulis adalah dosen London School of Public Relations
No comments:
Post a Comment