Monday, June 20, 2011

Wahyu Susilo: 23 WNI Terancam Hukuman Mati di Saudi, Pemerintah Jangan Kecolongan

Jakarta - 23 Warga negara Indonesia (WNI) yang mayoritas pekerja rumah tangga (PRT) migran terancam hukuman mati di Saudi Arabia. Pemerintah RI diwanti-wanti agar tidak kecolongan agar kasus Ruyati tak lagi terulang.

"Di Saudi Arabia ada sekitar 23 WNI yang mayoritas adalah PRT migran menghadapi ancaman hukuman mati. Kalau pemerintah kinerjanya tetap sama dengan sekarang, maka kasus Ruyati ini bukan kasus terakhir, meskipun kita berharap tidak ada lagi kasus serupa," ujar analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret Solo ini, Senin (20/6/2011):

Pancung Ruyati baru diketahui pemerintah RI setelah eksekusi selesai. Menurut Anda mengapa ini terjadi?

Saya kira ini karena keteledoran dari Pemerintah Indonesia. Saya juga heran karena April lalu Menkum HAM Patrialis datang ke sana (Saudi) dan mengklaim membebaskan TKI yang terkait pidana, lalu memproses yang overstayed dan kemudian memulangkannya. Karena itu seharusnya kalau ada WNI yang akan terkena hukuman berat seharusnya tahu.

Lalu pada Mei 2011 Kepala Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI) Jumhur Hidayat datang dalam Senior Official Meeting membahas MoU TKI seharusnya tahu, karena ini (Ruyati) tingkat hukumannya tinggi. Kalau pemerintah merasa innocent, kecolongan, saya kira sangat tidak masuk akal.

Pintu kecolongan itu ada di mana?

Saya kira ujung tombak dari perlindungan WNI di luar negeri adalah perwakilan kita di negara itu. Seharusnya perwakilan RI proaktif. Pengalaman kami dengan beberapa kedutaan besar kita, KBRI di Saudi ini tertutup.

Kita punya pengalaman dengan KBRI lain meski KBRI yang lain juga ada banyak kelemahan. KBRI di Malaysia, Singapura, mereka memberikan informasi kalau kita minta dan mau diskusi bersama. Kalau kita datang ke sana dilayani, bahkan dubes juga sering komunikasi.

Tapi kalau Saudi Arabia tidak begitu. Saya kira kedutaan kita ketularan birokrasi tertutup dari pemerintah sana.

Apa yang bisa dipelajari dari kasus Ruyati ini?

Yang bisa kita pelajari, negara tidak boleh lagi teledor. Pemerintah jangan seperti keledai yang bisa jatuh terperosok di lubang yang sama. Jangan lagi publik tidak mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia.

Yang juga harus diantisipasi adalah kasus Darsem yang terancam hukuman mati. Dalam kasus ini pemerintah Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pembayaran diyat daripada melakukan advokasi litigasi di peradilan maupun diplomasi yang maksimal.

Sebenarnya kalau pemerintah memiliki political will, pemerintah bisa mengambil dari APBN yang tentunya ada emergency fund untuk membayar diyat itu. Negara kok menunggu rakyatnya menggalang dana. Kalau begitu, kesannya negara ini seperti pengemis. Pemerintah kan bisa mengajukan dana extra fund, selesai sudah masalahnya.

Di Saudi Arabia ada sekitar 23 WNI yang mayoritas adalah PRT migran menghadapi ancaman hukuman mati. Selain itu ada 345 orang yang terancam hukuman mati di Malaysia. Kalau pemerintah kinerjanya tetap sama dengan sekarang, maka kasus Ruyati ini bukan kasus terakhir, meskipun kita berharap tidak ada lagi kasus serupa.

Sebelum kasus Ruyati, adakah catatan Migrant Care adanya kasus serupa yang pernah terjadi?

Pernah terjadi kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, yakni PRT migran asal Cianjur yang juga tidak pernah diketahui publik sebelumnya. Pada Januari 2008 ada berita eksekusi, keluarga kaget dan baru tahu. Bahkan hingga kini jenasah Yanti Iriyanti belum bisa dipulangkan. Padahal keluarga sudah meminta agar jenazahnya dipulangkan. Ini kan termasuk hak dari yang bersangkutan.

Setahu Anda, Ruyati didampingi pengacara atau tidak?

Kita menanyakan nama pengacara tidak pernah dikasih tahu. Padahal dalam sistem hukum di mana pun, terdakwa dengan ancaman hukuman mati harus dipenuhi haknya sebagai terdakwa, yakni memperoleh penerjemah, pengacara, konseling juga penasihat kesehatan. Sampai sekarang kita tidak bisa mendapat jawaban dari pemerintah, apakah syarat itu dipenuhi. Kalau memang sudah dipenuhi, kita mau tahu siapa nama pengacaranya, apakah pemerintah menjalankan tugasnya juga karena ini kan ancamannya hukuman mati.

Pihak keluarga Ruyati pun tidak mengetahui pengacaranya?

Rasanya tidak. Karena di surat Kemlu pada Februari 2011 untuk keluarga Ruyati, disampaikan Ibu Ruyati dalam kondisi fisik menurun dan semakin tidak sehat. Padahal seharusnya dengan kondisi kesehatan seperti itu bisa meminta proses pengadilan dihentikan sampai sehat. Saya kira ini tidak dihentikan dan terus berjalan.

Apa yang harus dilakukan pemerintah kita terkait Ruyati ini? Protes ke pemerintah Saudi?

Itu wajib dan harus segera dilakukan. Kita bisa mengirimkan nota protes diplomatik dan juga menurunkan tingkat hubungan diplomasi. Cara itu bisa dilakukan dengan memanggil pulang dubes kita di Saudi dan meminta Dubes Saudi di Jakarta pulang ke tanah airnya atau mempersona-nongaratakan. Ini dilakukan sampai Saudi punya komitmen untuk juga bersikap lebih baik pada TKI kita, sampai punya MoU bilateral dengan Saudi. Sekarang ini MoU memang sedang diproses, kalau bisa dipercepatlah.

Pihak keluarga Ruyati berniat bertemu Kemlukah untuk meminta penjelasan?

Kemarin itu, pemberitahuan (eksekusi Ruyati) hanya lewat SMS dan telepon. Katanya tidak ingin ketemu pejabat pemerintah dulu. Kemarin malah pejabat BNP2TKI diusir (dari rumahnya) sebagai bentuk protes pada tindakan pemerintah yang sepertinya tidak acuh pada Ruyati.

Sumbangan devisa dari TKI belum sebanding dengan perlindungan yang diberikan?

Saya kira dari tahun ke tahun remitan TKI selalu meningkat. Pada 2004 itu ada US$ 1,3 miliar, sedangkan pada 2005 meningkat US$ 4,8 miliar. Itu kan meningkat drastis. Lalu tahun 2006 menjadi sekitar US$ 5,5 miliar dan hingga 2010 data dari Bank Dunia US$ 7,1 miliar. Saya kira itu menunjukkan kontribusi sangat tingi, karena angka ini lebih besar daripada dana bantuan luar negeri, sekitar 3-4 kali lipat. Kita bisa bandingkan beda perlakuan untuk TKI dan pejabat dari negara pemberi bantuan.

Kalau ada pejabat dari negara yang memberikan bantuan, disediakan karpet merah dengan pengawalan ketat karena sudah memberikan bantuan. Padahal nilai bantuannya lebih kecil dari TKI. Sedangkan TKI, ketika mereka datang malah bisa diperas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Seolah tidak ada imbal jasa dengan pemberian perlindungan memadai kepada TKI yang sudah banyak menyumbang untuk pembangunan negara ini.

Meskipun kasus sukses TKI lebih banyak ketimbang derita TKI?

Kalau ada pejabat yang menyampaikan statemen itu, menurut saya itu statemen yang tanpa perasaan. Kita tidak bisa membandingkan begitu, karena ini soal nyawa bukan soal barang. Satu nyawa itu berharga. Sekarang kalau satu nyawa ini adalah anak presiden atau keponakan menteri, apa mereka mau diperlakukan begitu.

Ke depannya apa yang harus dilakukan pemerintah agar lebih melindungi TKI?

Segera meratifikasi konvensi ILO tentang pekerja rumah tangga, meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya serta melakukan amandemen UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Selain itu juga mengevaluasi pejabat-pejabat terkait seperti Menlu, Menakertrans dan BNP2TKI.

Saya kira MoU kita dengan Saudi masih sulit karena kita merasa underdog. Padahal dibanding Filipina, ada peluang yang lebih bisa kita mainkan karena RI dan Saudi adalah sesama negara Muslim, sesama anggota G20, sesama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Ada banyak ruang tetapi tidak kita manfaatkan dengan maksimal. Coba lihat Filipina yang bisa memaksakan. Ini karena lemahnya diplomasi kita yang tidak maksimal.

No comments: