Jum'at, 17 Desember 2010 19:38:17 WIB
Reporter : Yusuf Wibisono
Jombang (beritajatim.com) – Peta pemikiran (alm) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tak pernah surut dibahas. Hal itulah yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dalam menyambut haul ke-1 mantan presiden itu.
"Kita adalah ahli waris jejak pemikiran Gus Dur. Saat ini, tinggal bagaimana mengeksplorasi warisan tersebut secara relevan dan sesuai porsinya. Pluralis, berani, percaya diri, dan kontradiktif adalah ciri Gus Dur dalam berpolitik," kata Dr Munawar Ahmad, penulis buku "Ijtihad Politik Gus Dur", ketika bedah buku di Gedung KH M Yusuf Hasyim, (17/12/2010).
Menurut Munawar, politik tersebut dikembangkan Gus Dur dengan melekatkan diri pada salah satu komunitas atau latar belakang suku dominan di Indonesia. "Seperti dia pernah katakan : Saya ini keturunan Cina. Yang bermarga Tan," ujarnya.
Pola semacam itu, lanjut Munawar, ternyata bisa menyatukan umat minoritas Tionghoa yang saat itu tengah termarginalikan. Sehingga, apa yang dilakukan Gus Dur tersebut dianggap sebagai langkah pemersatu.
Meski begitu, Munawar yakin politik yang dikembangkan Gus Dur bukan berarti tanpa cela. Sebab, ranah politik merupakan ranah pembenaran bukan pencarian kebenaran. Dalam buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitian tersebut, mencacat beberapa kelemahan Gus Dur dalam berpolitik.
Semisal, terkadang Gus Dur tidak menggunakan kajian sejarah dalam pernyataan politiknya. "Seperti soal keturunan Tionghoa tadi. Padahal kan Gus Dur tak pernah memberikan kajian sejarah atau fakta jalur keturunan," ungkap peneliti asal Universitas Gajah Mada Yogjakarta ini.
Dalam bedah buku tersebut juga menghadirkan S Miftahur Rohim, sebagai pembanding. Ia mengungkapkan, Gus Dur yang secara histori pernah belajar di Mesir dan Irak, mempunyai karakteristik tersendiri dalam setiap langkah politik yang diambilnya.
Praktis, banyak keputusan yang polanya bersumber pada cuplikan dari kitab-kitab klasik yang dipelajari Gus Dur ketika di dua negara timur tengah tersebut.
Ia juga menjelaskan, dalam maqhasid syariah, Gus Dur kerap berpedoman pada mahzab Hanafi. Yakni, mahzab yang mengedepankan syariah yang rahmatan lil alamin. "Gus Dur itu pluralisme sosial yang banyak mengambil dari teks Hanafi," jelasnya.
Sayangnya, lanjut Miftahur, saat menduduki jabatan presiden, Gus Dur tidak ditunjang dengan kader-kader yang mumpuni. "Jadi banyak yang belum matang secara pendewasaan politik. Sehingga tidak bisa menunjang Gus Dur sebagai presiden," tambahnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Sholahuddin Wahid, juga menyampaikan, ada beberapa hal yang bersifat khas dalam Gus Dur. "Dia sebagai pribadi itu keras. Untuk menilai kiprah politiknya, harus dipilah. Ada yang termasuk sisi politis dan ada juga yang masuk sisi manusiawi," tutur Gu Solah dalam kesempatan yang sama. [suf/kun]
No comments:
Post a Comment