Thursday, November 4, 2010

Arya Fernandes: Kunker Bersama Pasangan Tanda Matinya Etika Politik DPR

Nurvita Indarini - detikNe

Jakarta - 4 November besok, 14 Anggota DPR Komisi VIII pada 4 November akan pergi ke Makkah, Arab Saudi. Rencananya mereka akan melakukan kunjungan kerja terkait pelaksanaan haji. Informasi beredar ada di antara rombongan yang membawa suami atau istri. Wakil Ketua Komisi VIII Ahmad Zainudin tidak membantah. Namun dia menjamin kalau suami atau istri yang ikut serta, tidak dibayari negara alias menggunakan biaya sendiri.

Peneliti politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, mempertanyakan relevansi membawa pasangan saat kunjungan kerja dengan kinerja anggota Dewan. Menurut pria yang pernah aktif di Forum Muda Paramadina dan The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) ini, publik terlanjur menilai negatif kegiatan kunjungan kerja DPR keluar negeri karena dinilai tidak banyak bermanfaat.

Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, ini menilai, nekatnya anggota DPR melakukan kunker, apalagi dengan membawa pasangannya menunjukkan telah matinya etika politik. Berikut ini wawancara detikcom dengan Arya Fernandes, Rabu (3/11/2010):

Etiskah anggota Dewan kunker dengan membawa pasangan meskipun didanai sendiri?

Ada indikasi kunker dianggap negatif oleh publik. Studi yang kita lakukan menunjukkan ada resistensi publik terhadap kunker. Di atas 50 persen menilai kalau kunker semacam itu negatif. Kalau sudah tahu kegiatan itu direspons negatif tetapi malah tetap dilakukan, itu menunjukkan matinya etika politik.

Kita tidak bisa mengukur apakah keikutsertaan istri atau suami akan berkorelasi positif dengan pemantauan haji atau keikutsertaan itu malah menyulitkan langkah-langkah pemantauan. Ini harus dipertimbangkan. Jangan sampai persepsi publik yang terlanjur negatif dengan kunker, ditambah keikutsertaan pasangannya itu semakin menambah resistensi. Kalau resistensi yang demikian besar ini diabaikan semakin menunjukkan matinya etika politik.

Apakah ini berlaku sama untuk pejabat pemerintah tidak?

Kalau untuk presiden beda kasus. Karena Ibu Ani adalah simbol Ibu Negara. Hal ini pun dilakukan oleh negara-negara demokrasi lainnya. Meski memang tidak semua kegiatan presiden di luar negeri diikuti oleh ibu negara.

Kalau anggota kabinet agak sedikit berbeda, karena istrinya tidak dianggap simbol negara. Kalau keikutsertaan istri nggak relevan, nggak usahlah. Yang terjadi adalah pada bawa istri, lalu berdalih itu dibiayai sendiri. Masalahnya, publik tidak tahu transparansi anggarannya. Jadi akan melihat negatif.

Apa pun dalihnya itu negatif, kecuali pasca kunjungan kerja bisa meyakinkan kalau ini penting dan membawa dampak positif serta bisa untuk menguatkan lembaga DPR. Kalau nggak ya kecenderungannya akan terus terjadi resistensi.

Kunker ke Makkah ini dilakukan satu rombongan yang berisi 14 orang dan dilakukan saat Indonesia tertimpa bencana. Pendapat Anda?

Ini yang saya bilang tadi, matinya etika politik. Saat bencana melanda justru sensitivitas anggota sebagai wakil rakyat tidak begitu kelihatan. Dari 14 itu mungkin bisa dikurangkan. Kalau bisa 5 orang saja, kenapa tidak 5 orang itu saja yang berangkat. Sehingga sisa anggarannya bisa dialihkan kepada dana pasca gempa.

Padahal ada banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan mendesak pemerintah mempercepat proses penanganan pasca gempa, secara baik menangani korban gempa, atau terobosan lainnya. Pemantauan ibadah haji ini penting, tapi ketika dilakukan oleh banyak orang di tengah bencana apalagi sampai mengajak istri ini akan dilihat masyarakat sebagai kegiatan yang tidak rasional. Saya rasa ini bisa diefisienkan.

Sebelumnya ada yang nekat tetap pergi studi banding ke luar negeri misalnya Pansus Rumah Susun dari Komisi V DPR pergi ke Italia. Anda melihat ada urgensinya di sini?

Sebetulnya sepanjang bisa meyakinkan kepada publik kalau kunjungan kerja atau studi banding ini penting dan membawa hasil positif ya tidak apa-apa. Selama publik mendapatkan laporan hasil kunker yang ternyata penting untuk membantu kerja DPR nggak apa-apa.

Tapi yang terjadi sekarang tidak dilaporkan secara baik. Hasilnya tidak terlalu membantu program legislasi nasional (Prolegnas). Angka prolegnas kecil sekali. Sampai Agustus, DPR baru menyelesaikan pembahasan 7 RUU dari target 70 RUU pada 2010.

Prolegnas itu kan salah satu indikatornya. Kalau pasca itu nggak ada peningkatan ya nggak ada relevansi dan dianggap enggak berhasil.

Sepertinya masyarakat tidak lagi bisa mengontrol anggota Dewan?

Itu kelemahan anggota Dewan kita. Muncul penolakan yang besar tapi tetap saja kunker. Kenapa nggak berubah juga ya itu karena etika politiknya sudah lumpuh. Muncul penolakan tapi dianggap sebagai angin lalu.

Tapi kritik dan saran harus terus disuarakan oleh masyarakat madani, civil society, termasuk media massa di dalamnya. Jangan sampai masyarakat madani ikut mati perannya.

Apa dampaknya jika anggota Dewan terlalu sering mengabaikan sorotan publik?

Saya khawatir resistensi publik yang besar dan tidak mendapatkan respons balik, bisa melahirkan sikap anti partai. Ini mengkhawatirkan. Kalau muncul ini akan beruntun dampaknya, yakni angka partisipasi politik merendah di pemilu dan yang kedua akan muncul masyarakat apolitis.

Jadi akan semakin banyak masyarakat yang tidak peduli dengan proses dan jalannya politik di negeri ini. Apapun yang terjadi cuek saja. Mereka berpikir, ya ngapain mau mengontrol kalau nggak ada respons balik.

Di daerah pengungsian, parpol banyak yang memasang atribut partainya. Ini upaya mereka untuk menunjukkan bahwa mereka pun tidak mengabaikan masyarakat?

Pemasangan atribut di wilayah bencana tidak memiliki dampak yang besar bagi pemilih. Karena yang terpenting bagi masyarakat pengungsi adalah bagaimana pemenuhan sandang, pangan dan papan. Itu cara instan untuk meraih perhatian publik, seolah-olah mereka kehilangan kesempatan untuk sosialisasi padahal waktunya terbentang luas.

Memasang atribut saat bencana alam itu merupakan cara-cara konvensional. Saya katakan ini tidak efektif untuk meraup perhatian publik, karena ada kencenderungan pemilih kita semakin rasional.

Dengan memasang atribut, malah menimbulkan pertanyaan masyarakat, ini parpol ngapain sih masang-masang bendera. Kalau ingin membangun kedekatan maka harus dilakukan dengan kebijakan yang jelas, mengusung figur yang jelas. Kalau mau melakukan diferensiasi dengan partai lain ya suarakanlah yang keras agar bagaimana penanganan bencana dan pengungsi yang lebih baik. Sekarang ini kan banyak diamnya. Yang bisa melakukan terobosan politik akan lebih dilirik dibanding hanya memasang spanduk

No comments: