Dua Keutamaan Ramadan
Oleh Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA
(Direktur Pascasarjana IAIN Ar-Raniry)
Ada dua keutamaan dalam bulan Ramadan. Pertama, dari aspek hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah) dan kedua aspek hablumminannas (hubungan antarsesama manusia).
Hablumminallah itu berkait dengan banyak sekali ibadah dan tuntunan yang diberi Allah pahala lebih apabila dikerjakan. Ada banyak perbuatan yang pada bulan lain hanya diganjar dengan pahala biasa saja.
Tapi dalam bulan Ramadan orang yang beribadah akan mendapat pahala lebih banyak. Sebaliknya, ada perbuatan-perbuatan yang dibolehkan di luar Ramadan, tapi di bulan Ramadan tidak boleh dilakukan, karena Allah melarangnya.
Inilah salah satu wujud hubungan antara manusia dengan Allah. Yang mengerjakannya mendapat banyak pahala dari Allah. Sedangkan dari aspek hablumminannas, berpuasa dimaksudkan agar bulan Ramadan bisa mempertajam kepekaan sosial, mempererat solidaritas, dan kesetiaan di antara umat Islam.
Jadi, adanya perintah untuk menahan diri dari makan dan minum di siang bulan Ramadan, sebetulnya untuk merasakan bagaimana penderitaan orang yang tidak punya uang atau tidak cukup penghasilannya untuk memperoleh makanan dan minuman.
Perintah untuk banyak bersedekah di bulan ini juga bagian dari solidaritas untuk menumbuhkan kesenangan, kemauan, dan perhatian kepada orang sekitar, sehingga dapat membantu mereka untuk ke luar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Inilah keutamaan Ramadan yang memberi manfaat bagi seseorang untuk introspeksi diri dan merenungkan perjalanan hidupnya selama ini.
Merenungkan masa depan yang akan dicapainya. Kemudian, merenung apa yang harus dilakukan atau apa yang sebaiknya dikerjakan untuk kepentingan diri dan masyarakat, karena Ramadan merupakan bulan untuk latihan, menyegarkan ingatan, dan melatih diri kembali.
Tarawih di malam hari, misalnya, shalat ini sebetulnya diajurkan juga pada setiap malam di luar Ramadan sebagai shalat malam.
Tapi ketika Ramadan, shalat malam ini dilaksanakan di masjid atau di meunasah dengan berimam. Tapi di luar Ramadan dilepas lagi untuk sendiri-sendiri mengerjakannya. Begitu juga latihan bersedekah pada bulan Ramadan, orang yang melakukannya akan mendapatkan banyak pahala, sehingga terbiasa dan setelah Ramadan akan mendapat pahala normal.
Sedangkan pada bulan Ramadan ia mendapat pahala berlimpah. Seperti contoh, Allah melarang makan dan minum pada siang hari pada bulan Ramadan. Allah menyuruh mematuhi perintah-Nya walaupun pada dasarnya perintah itu berkaitan dengan sesuatu yang biasa saja.
Artinya, makan itu sebetulnya diizinkan, tapi oleh Allah dilarang dan kita harus patuh atas perintah itu. Di sini kita diminta merenung dan memberi perhatian, bahkan bukan hanya di bulan Ramadan, tapi di bulan lain pun bila Allah menyuruh kita untuk taat, maka harus taat.
Manfaat dari latihan itu akan diperoleh bila mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan penuh kesadaran diri.Jadi, kalau seusai Ramadan berkurang lagi intensitas dan kualitas ibadah seseorang, berarti ketika Ramadan dia berlatih dan mengerjakan ibadah puasa tidak dengan penghayatan dan sepenuh hati. Dia melakukan itu hanya sekadar rutinitas belaka.
Karena orang lain berpuasa, ia pun ikut berpuasa, tapi tanpa dapat memetik makna selama Ramadan. Akhirnya, dia tidak memperoleh makna yang berharga dan tidak pernah tahu tujuan dari ibadah tersebut.
Seharusnya, puasa itu bisa membentuk orang untuk menahan diri, termasuk dari korupsi. Tetapi sering terjadi, hikmah Ramadan untuk merasakan penderitaan orang lain, itu tidak maksimal diperoleh, karena tidak dihayati secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Ingat, bulan Ramadan ini baru dirasakan sebagai bulan berlapar-lapar jika ketersediaan makanan berkurang.
Tetapi kalau makanan tidak pernah berkurang tentu tidak dirasakan Ramadan itu sebagai bulan berlapar-lapar. Ukurannya apa?
Sekarang mana lebih banyak orang belanja di bulan Ramadan dengan belanja di luar Ramadan? Ternyata lebih banyak di bulan Ramadan. Nah, itu artinya hidup di bulan Ramadan lebih mewah daripada di bulan lain. Bukti lainnya, di bulan Ramadan uang yang dihabiskan untuk belanja lebih banyak daripada di luar Ramadan.
Kalau itu kejadiannya, berarti yang bersangkutan tidak menderita di bulan Ramadan. Lalu, bagaimana mungkin penderitaan itu bisa dirasakan, bila seseorang menjadikan Ramadan sebagai bulan pesta dan bulan makan minum setelah waktu berbuka tiba? Ini salah satunya yang menyebabkan orang tidak berubah, meskipun ia sudah berpuasa berkali-kali.
Dari segi ini bahwa berpuasa dimaksudkan untuk merasakan penderitaan orang miskin dan menumbuhkan solidaritas itu belum maksimal dicapai.
Masih pada tahap awal, masih sekadarnya, dan masih seadanya saja. Jadi, kaitannya dengan konsep menahan diri juga begitu. Ia tidak menahan diri secara hakiki atau substansi, melainkan lebih banyak secara formal belaka.
Artinya, bila dilarang makan minum di siang Ramadan, dia patuhi. Tapi begitu keran dibuka pada magrib dan sahur, semua kelaparan dan kehausan pada siang dia lampiaskan pada malam hari. Perut diisi kembali melebihi kebutuhan yang sebenarnya.
Apakah ada di antara kita ketika berbuka atau makan sahur dengan menu yang sederhana atau tidak dengan menu yang mewah? Saya rasa jumlahnya sedikit. Kebanyakan di antara kita ketika berbuka puasa dan makan sahur justru dengan menu yang mewah.
Kalau melampaui demikian, berarti menahan diri itu belum maksimal kita lakukan alias masih biasa-biasa saja. Belum sungguh-sungguh dihayati. Saya berharap melalui Ramadan ini, rasa menahan diri bisa terpantul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga selama latihan di bulan suci ini bisa mengubah diri kita ke arah yang lebih baik setelah Ramadan ini.
Perubahan ke arah yang lebih baik itu bisa terlihat dalam dua keutamaan Ramadan, yaitu hablumminallah dan hablumminannas. (*) srbnews
No comments:
Post a Comment