Wed 16 Jun 2010
by : Sapariah
BARU-BARU ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar membuat kebijakan baru guna membenahi permasalahan tenaga kerja Indonesia (TKI). Yakni, dengan melegalkan para calo TKI yang merekrut calon pekerja di daerah. Calo yang sering kita temui di berbagai kehidupan, mulai dari calo bis di terminal, calo tiket pertandingan olahraga, calo jabatan, hingga calo TKI yang akan dilegalkan Menakertrans.
Pengiriman TKI ke luar negeri merupakan kebijakan nasional pemerintah. Selain mendatangkan devisa dan meningkat pertumbuhan ekonomi di daerah melalui pengiriman uang hasil jerih payah TKI (remittance), pengiriman TKI ke luar negeri secara tidak langsung mengurangi pengangguran secara instan. Bank Dunia mencatat tahun 2009 remitance TKI dari luar negeri mencapai US$6,6 miliar. Ini merupakan pemasukan terbesar kedua negara setelah migas.
Sistem Pengiriman
Calo merupakan elemen penting dalam pengiriman TKI keluar negeri. Dalam Undang-Undang (UU) No 39 Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, swasta PJTKI atau dikenal istilah Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PTKIS) diberi wewenang luas dalam mengirim dan menempatkan TKI di luar negeri. Terutama pengiriman TKI informal pekerja rumah tangga (PRT), ke negara tujuan utama adalah Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah. Dengan terbuka pangsa pasar yang luas dan permintaan tinggi akhirnya pengiriman TKI informal, untuk mempercepat dan mempermudah perekrutan mereka biasa menggunakan calo atau yang dikenal dengan istilah petugas lapangan (PL).
Untuk mendapatkan seorang calon TKI, sang calo biasa mendapat komisi Rp1 juta-Rp2 juta per orang. Hingga wajar saja calo menjamur di pedesaan. Calo saat ini bukan saja orang yang ditunjuk PPTKIS, namun siapa saja yang punya akses dan informasi bisa menjadi calo. Bisa anggota keluarga, oknum aparat desa, oknum aparat hukum hingga oknum mantan TKI pun ada yang menjadi calo. Ironisnya, pekerjaan calo TKI ini menjadi sumber masalah besar dalam pengiriman terhadap TKI. Sebab, imbalan besar dan menggiurkan, akhirnya para calo sering kali menghalalkan segala cara mendapatkan calon pekerja. Tentu dengan melakukan perbuatan tercela seperti membujuk dengan janji palsu, bila tidak diizinkan akan memberi upeti kepada anggota keluarga, memalsukan dokumen perjalanan hingga menjual para calon TKI kepada penyalur ilegal. Bahkan, beberapa kasus didapati sang calo menjual para calon TKI sebagai pekerja seks di luar negeri.
Ketika TKI mengalami permasalahan di luar negeri, oknum calo dan PPTKIS sering lepas tangan dan saling tuduh. Penelitian penulis tahun 2006, tentang TKI bermasalah di penampungan KBRI Kuala Lumpur menyatakan, 80 persen TKI merasa tertipu para calo di kampung karena janji manis dan iming-iming seperti majikan baik, seagama, gaji besar, kerja enak dan lain-lain. Faktanya, tidak mereka dapati. Ketika marak terjadi kasus-kasus pemalsuan dokumen dan pengiriman anak di bawah umur para perusahaan PPTKIS sering berkilah bahwa itu adalah ulah para calo (PL) tanpa sepengetahuan perusahaan.
Ironis lagi, seorang majikan di Malaysia misal, yang ingin mendapatkan seorang pembantu dari Indonesia, mereka dikenakan biaya RM4.000-RM5.000 per PRT, dan TKI dikenakan potongan gaji lima sampai enam bulan. Mereka selama itu bekerja tanpa dibayar dengan alasan biaya perekrutan dan pengurusan dokumen, termasuklah di dalamnya biaya membayar calo. Bayangkan kalau seandainya setiap calo di bayar Rp1 juta-Rp2 juta per TKI, selama satu bulan TKI kita bekerja hanya membayar calo. Makin tinggi bayaran calo, makin banyak pula potongan kepada TKI.
Memberantas Calo
Sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya-upaya memberantas calo, terutama calo yang melakukan trafficking kepada calon TKI. Kepolisian RI beberapa kali berhasil membongkar sindikat perdagangan orang yang melibatkan para calo, bahkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) telah menjalankan program yang dinamakan kelompok berlatih berbasis masyarakat (KBBM). Program yang dijalankan sejak 2009 ini telah melatih ratusan kelompok pemberdayaan masyarakat dalam memerangi para calon dan mendapatkan informasi yang langkap mengenai bekerja ke luar negeri. Bahkan para aktivis LSM dan badan internasional seperti ILO, IOM dan NGO Internasional aktif melakukan program pemberdayaan masyarakat dalam memberantas para calo.
Solusi dan Saran
Kebijakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) yang akan melegalkan para calo merupakan kebijakan ironis. Apabila calo dilegalkan, mereka akan makin leluasa dan tentu menggunakan legitimasi dalam memeras keringat dan darah TKI. Yang harus dilakukan pemerintah seharusnya melakukan penegakan hukum dan memotong alur pengiriman TKI dengan mudah, cepat, murah dan aman. Melegalkan calo sama dengan membenarkan TKI kita dipotong gajinya untuk membayar calo yang justru sering menjerumuskan mereka. Padahal pemerintah terutama Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki kantor perwakilan di daerah yang harusnya bisa memutus mata rantai percaloan dalam mengirim TKI. Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI jelas-jelas dikatakan orang perorangan tidak dibenarkan melakukan pengiriman TKI ke luar negeri.
Melegalkan para calo merupakan kebijakan putus asa pemerintah dalam membenahi TKI, karena belum mampu membenahi dan menjalankan amanah UU dalam melindungi TKI. Akhirnya, penulis berkesimpulan, kementerian bukan lembaga yang tepat dan kompeten dana menangani TKI. Sebaiknya kementerian ini membenahi urusan ketenagakerjaan di dalam negeri yang masih jauh dari harapan. Masalah TKI diserahkan kepada lembaga lain yang lebih fleksibel dan kompeten. Wallahu‘alam
Muhammad Iqbal
Penulis Presiden Union Migrant (UNIMIG) Indonesia,
Kandidat Doktor Universiti Kebangsaan Malaysia
No comments:
Post a Comment