Wednesday, October 13, 2010

DPR Akui Praktik Percaloan


JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat mengakui, praktik calo anggaran melibatkan berbagai pihak, termasuk anggota DPR. Hanya saja, kalangan di daerah mengaku lebih suka melobi langsung kepada anggota DPR karena lebih efektif dalam memperoleh tambahan anggaran.

”Calo anggaran itu ada dan nyata. Mereka beraksi sejak pengalokasian dalam pagu indikatif di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembahasan bersama DPR dan pemerintah, hingga pelaksanaannya di Kementerian Keuangan,” kata Bambang Soesatyo, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar, Selasa (12/10/2010) di Jakarta.

Keterangan Bambang ini dibenarkan Trimedya Panjaitan, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPR, yang pernah enam bulan duduk di Badan Anggaran DPR. Dia menjelaskan, percaloan juga dapat dilakukan dengan mendekati anggota Badan Anggaran DPR.

Lebih lanjut Bambang menuturkan, para kepala daerah, baik secara langsung maupun lewat orang-orangnya, biasa mulai bergerilya di Kementerian Keuangan agar mendapat alokasi anggaran berdasarkan pagu indikatif dari Bappenas. Mereka terus mengawal alokasi anggaran itu hingga pembahasan di Gedung DPR.

”Suruhan kepala daerah yang bergerilya biasanya pengusaha yang kelak memperoleh proyek dari alokasi anggaran yang mereka kawal,” papar Bambang.

Dalam mengawal alokasi di DPR, para pengusaha ini biasanya tidak langsung mendatangi anggota DPR satu per satu. Mereka cenderung lewat partai politik atau fraksi di DPR.

”Nanti, partai politik atau fraksi yang memerintahkan anggotanya di Badan Anggaran atau panitia kerja DPR untuk bersikap terhadap pos tertentu,” ujar Bambang.

Untuk praktik ini, para pengusaha biasa memberikan fee 10 persen dari nilai anggaran yang dikawal. Biaya untuk fee biasanya diambil dari potensi keuntungan yang akan diraih pengusaha tersebut dari proyek dalam anggaran yang dibela.

Trimedya Panjaitan menuturkan, percaloan dilakukan dengan mendekati anggota Badan Anggaran. ”Bagaimana praktik persisnya, saya kurang tahu karena hanya sebentar di Badan Anggaran,” tutur Trimedya.

Untuk mengurangi percaloan, menurut Trimedya, usulan dari kepala daerah itu sebaiknya resmi disampaikan lewat partai politik yang mengusungnya di pemilu kepala daerah. Selanjutnya, partai akan memperjuangkannya lewat anggotanya di DPR.

”Jadi, partai politik tidak hanya menjadi kendaraan seseorang untuk menduduki jabatan kepala daerah. Partai juga terus bertanggung jawab dan membantu kinerja kepala daerah yang mereka usung,” papar Trimedya.

Mantan Ketua DPRD Jawa Timur Fathorrasjid di Surabaya membenarkan bahwa DPR, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan diduga menjadi tempat utama calo anggaran beraksi.

Dia menjelaskan, semua usulan anggaran daerah harus dimasukkan ke pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Usulan itu kemudian dikaji dan dimainkan oleh oknum di Kementerian Dalam Negeri.

Sementara di DPR biasanya melibatkan oknum anggota yang daerah pemilihannya menempati daerah yang melobi kenaikan anggaran. Oknum tersebut akan mengawal agar usulan anggaran suatu daerah disetujui.

Menurut dia, salah satu cara mendeteksi mata anggaran yang melibatkan percaloan atau tidak bisa dilihat dari daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Jika ada program yang mendapat dana lebih besar dari rata-rata yang lain, patut dicurigai.

Lobi ke DPR

Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin yang pernah didekati calo anggaran menegaskan, daripada menggunakan calo anggaran, lebih baik pemerintah daerah mengadakan rapat dengar pendapat dengan DPR. Melalui rapat tersebut, pemerintah daerah dapat mengemukakan program kerjanya kepada DPR.

”Sebenarnya, yang paling penting meyakinkan DPR dan Kementerian Keuangan bahwa program pemerintah daerah benar-benar untuk kepentingan rakyat,” ungkapnya.

Ketua Fraksi PDI-P DPRD Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Yustinus Sani mengakui, kuatnya jaringan pemerintah daerah, seperti halnya Pemerintah Kabupaten Ende, dalam membangun lobi membuat peluang untuk mendapatkan kucuran dana dari pusat menjadi lebih besar.

Jaringan dimaksud adalah hubungan atau komunikasi dengan fraksi-fraksi di DPR, anggota DPR dari daerah pemilihan Flores, Nusa Tenggara Timur, atau anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Sementara itu, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo di Jakarta, Selasa, seusai menyampaikan sambutan Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun Anggaran 2010 kepada DPR menjelaskan, BPK menemukan 4.708 kasus ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap peraturan dan perundang-undangan, yang menyebabkan potensi kerugian negara Rp 3,55 triliun. Meski demikian, BPK tidak dapat menyimpulkan adanya praktik percaloan anggaran di daerah karena membutuhkan pemeriksaan yang lebih mendalam.

”Kami juga mencatat temuan SPI (Sistem Pengendalian Internal) dan berbagai ketidakpatuhan terhadap peraturan. Dari 348 LKPD (laporan keuangan pemerintah daerah) yang diperiksa, kami menemukan 3.179 kasus kelemahan SPI dan 4.708 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan senilai Rp 3,55 triliun,” ungkap Hadi. (Tim Kompas)

No comments: