Surabaya (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar tidak diskriminatif.
"Revisi UU Ketenagakerjaan memang ada tapi justru memperlemah nasib buruh, karena itu revisi hendaknya menyeimbangkan peraturan untuk buruh dan pengusaha," kata Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan di Surabaya, Sabtu.
Wakil Ketua Komnas HAM yang membidangi Hubungan Eksternal itu mengemukakan hal itu dalam lokakarya dan seminar bertajuk "Penegakan Hukum Perburuhan Bagi Aktivis Serikat Buruh" yang digelar Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jatim dan TURC di Surabaya (9-11/1).
Menurut Hesti, UU Ketenagakerjaan yang ada hanya memberikan sanksi kriminalisasi buruh, namun sanksi untuk pengusaha tidak diatur, karena itu UU Ketenagakerjaan itu sangat mendesak untuk direvisi.
"Misalnya, sanksi untuk pengusaha itu dengan pencabutan izin, perusahaannya ditutup, atau sanksi lainnya. Itu yang belum ada, sehingga UU Ketenagakerjaan itu sangat diskriminatif," katanya.
UU Ketenagakerjaan itu, katanya, juga harus mengatur hak bekerja dan hak dalam bekerja. Hak dalam bekerja itu seperti upah atau berserikat, sedangkan hak bekerja itu memberi kesempatan yang sama kepada siapa pun untuk mendapatkan pekerjaan.
"Jangan sampai seperti sekarang masih ada 80 persen dari puluhan juta penyandang cacat yang belum mendapatkan pekerjaan, padahal 63 persen di antara mereka merupakan usia produktif," katanya.
Sementara itu, pakar hukum perburuhan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Herlambang, selaku pembicara lain menegaskan bahwa penegakan hukum untuk buruh memang masih menginjak-injak kaum buruh.
"Kalau dulu, pengusaha melakukan tindakan yang menggunakan kekerasan, tapi sekarang pengusaha mengancam buruh dengan cara yang halus melalui pasal-pasal yang dituduhkan dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). PHI itu merupakan cara represi yang baru," katanya.
Ia menengarai revisi UU Ketenagakerjaan juga cenderung ke arah yang sama, karena pasal-pasal yang ditinjau ulang justru pasal yang menjerat kaum buruh dan tidak ada pasal untuk pengusaha yang diusulkan untuk revisi itu.
"Perlawanan buruh sekarang jangan hanya di pengadilan, tapi sudah saatnya untuk mengarah ke gedung wakil rakyat yang merancang UU untuk mereka," kata aktivis Pusat Studi HAM Unair Surabaya itu.
Dalam seminar dan lokakarya itu juga menampilkan Kepala Disnakertransduk Jatim itu juga diwarnai dengan testimoni dari tiga buruh yang mengalami ketidakadilan, di antaranya Sulfianah yang dituduh mencuri makanan ringan senilai Rp19.000,00 di tempatnya bekerja di PT UPT Indonesia, kawasan PIER, Pasuruan. (*)
No comments:
Post a Comment