Wednesday, September 22, 2010

El Nisya Mahendra dan Aliyah Purwati, Perjuangkan Buruh Migran lewat Tulisan

Buat Buku hingga Aktif di Organisasi dan Komunitas

Jadi tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya sebagai pembantu rumah tangga banyak diidentikkan dengan kekerasan fisik maupun psikis. Sehingga, perlu perjuangan untuk berhasil dan bertahan di negeri orang.

NITIS SAHPENI, Bojonegoro

---

Sekelompok mahasiswa membentuk lingkaran di karpet biru. Mereka mendengar paparan

seorang perempuan berkaos putih dan berkacamata. Di sampingnya, ada perempuan yang mengenakan kaus putih abu-abu dipadu celana hitam. Para mahasiswa ini sedang asyik

mendengarkan kisah yang dituturkan dua perempuan tersebut secara bergantian. Sesekali muncul pertanyaan dari peserta diskusi. Dengan penuh semangat, kedua perempuan yang merupakan TKI ini mengisahkan bagaimana buruh migran menjaga identitas ke-Indonesiaan dan memperjuangkan nasib di negeri orang.

"Untuk memperjuangkan nasib buruh migran ada beberapa komunitas yang terbentuk di berbagai provinsi di Hongkong," kata El Nisya Mahendra, TKI yang tinggal di Ngraho dalam diskusi bersama di sekretariat FKUB yang digelar divisi komunitas pemuda lintas agama, kemarin (21/9).

Komunitas tersebut terdiri dari berbagai segmen, misalnya komunitas sastra, organisasi perlindungan buruh migran atau pendampingan jika ada masalah yang terjadi pada TKI.

Memperjuangkan nasib buruh migran melalui tulisan cukup berpengaruh. Sayangnya, pemerintah RI dirasa masih kurang berpihak kepada TKI. Sehingga, untuk mendapat haknya, sering TKI berjuang melalui ratusan organisasi yang ada.

Kepada wartawan koran ini, perempuan kelahiran Tuban 34 tahun lalu ini mulai bekerja di Hongkong pada 2000 lalu. Sejak pertama bekerja, dia mendapat majikan yang cukup baik dan mengerti hukum, sehingga belum pernah alami kekerasan. Namun, beberapa temannya sering curhat, mengaku diperlakukan tidak baik oleh majikannya. "Pernah ada teman yang mengaku gaji yang diberikan tidak sesuai dengan seharusnya undang-undang yang berlaku. Bahkan telepon genggam selalu disita, kemudian saya sarankan untuk lebih berhati-hati dan merekam pembicaraan. Pada akhirnya hak gajinya bisa diberikan dengan perjuangan dari teman-teman juga," paparnya.

Untuk memperjuangkan nasib buruh migran, ibu dua anak ini memilih melalui tulisan, karena dinilai akan berpengaruh kuat. "Sayangnya, pemerintah Indonesia masih belum memperjuangkan nasib buruh migran dengan semestinya. Justru kita terlindungi hukum yang ada di Hongkong," kata TKI yang sudah bekerja selama delapan tahun di Tsuen-Wan, New Teritories, ini. Karyanya juga cukup banyak, hampir ratusan dan dimuat di berbagai media massa. Antara lain, Senja di Kimberley Road, Di Balik Jeruji, Denting Piano Mr. Lee, dan lainnya. (*/fiq)

No comments: