Cirebon, NU Online:Komunitas intelektual dan kaum muda NU Cirebon yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, bahkan yang tinggal di luar negeri, seperti Amerika dan Berlin Jerman berkumpul bersama menyelenggarakan halal bi halal, silaturahmi bersama di kampus Insitut Studi Islam Fahmina (ISIF) Jl. Swasembada Kota Cirebon Senin lalu.
Menurut panitia acara, Ali Mursyid, acara ini merupakan tradisi tahunan intelektual dan kaum muda NU Cirebon, yang telah diselenggarakan sejak tahun 90-an.
“Ini dahulu diinisiasi oleh Affandi Mochtar dan Marzuki Wahid, lalu tradisi silaturahmi tahunan ini dilanjutkan oleh Fahmina Institute dan LAKPESDAM NU Cirebon, adapun tempat silaturahminya bergulir tergantung siapa yang sempat,” katanya.
Bila beberapa tahun lalu tempatnya di Losari di rumah Marzuki Wahid, lalu di Yayasan Khatulistiwa Syarif Utsman Yahya Kempek, lalu di STID al-Biruni, sekarang ini tempatnya di ISIF ini.
Hadir dalam acara ini 100 peserta lebih, yang terdiri dari berbagai kalangan; Kalangan pesantren, kalangan akademisi, pengurus NU, pengurus PC Anshor, pengurus Lakpesdam Cirebon, aktifis Rumah Kitab, kalangan LSM, para insan media, mahasiswa dan juga para ulama. Hadir pula, calon rektor IAIN Cirebon, Prof. DR. Maksum Mochtar, MA.
Acara mula-mula dibuka dengan pembacaan surah al-Fatihah, yang dipimpin panitia. Kemudian dengan dimoderatori Marzuki Wahid, forum ha B ›> E‡ìñ@ î›Ê:HcÚo±ÖPQ Ð:” :ašP ÿÿº >
Dalam sambutan pembukaannya, Mas Zek, panggilan akrab Marzuki Wahid, menyatakan bahwa setiap tahun kaum muda NU Cirebon berkumpul bersama untuk bersilaturahmi, tukar informasi dan membicarakan hal-hal aktual, baik yang terjadi di Cirebon maupun yang dialami kaum muda di daerah perantauannya.
Dalam pertemuan semacam ini, biasanya banyak gagasan brilian muncul, nanti soal pelaksanaannya, tergantung siapa yang siap dan mampu merealisasikannya.
Ini tidak hanya sekedar forum silaturahmi biasa, tetapi lebih sebagai cara kita untuk mensharing atau shoping ide dan gagasan”, tegas Mas Zek. “Misalnya saja, pada silaturahmi tahun lalu muncul gagasan penyusunan tafsir Cirebon, yang sampai sekarang belum dilaksanakan. Apakah sekarang akan kita bicarakan kembali?”, Tanya Mas Zek memancing diskusi forum.
Nuruzzaman, peserta yang juga Ketua PC Ansor Cirebon, mengemukakan hasil penelitiannya terkait Islam Radikal di Cirebon. Menurutnya agenda yang paling penting dilakukan kaum muda NU Cirebon adalah menyikapi menguatnya gerakan Islam radikal di Cirebon.
Dari penelitian yang ia lakukan, didapatkan fakta bahwa gerakan Islam radikal sudah sangat mengkhawatirkan, banyak masjid dan mushola orang NU di Cirebon yang kini dikuasai klompok radikal ini.
“Kelompok Islam radikal ini rajin member bantuan ke masjid dan mushola dengan syarat pengurus musholanya jangan dari kalangan NU”, kata Kang Zaman, panggilan akrab ketua Ansor Cirebon ini.
Fakta ini dikuatkan oleh cerita yang dituturkan H. Juju, seorang dosen IAIN dari kalangan NU yang aktif di masjid didaerahnya. Ia menceritakan bahwa dirinya pernah mempelopori pembangunan sebuah masjid, tetapi kini masjid itu dikuasai oleh PKS, dan dirinya tidak aktif di masjid itu lagi. Dia menekankan; “Gerakan Islam garis keras ini harus segera disikapi oleh NU Cirebon”.
Sementara itu Syahiron Syamsuddin, doktor muda dari Cirebon yang baru pulang dari studi post doktoral di Berlin menceritakan pengalamannya selama mengikuti studi. Ia mengatakan,
“Berlin dengan para orientalisnya yang nonmuslim ternyata memiliki langkah-langkah maju yang sangat menginspirasi saya. Mereka membuat sebuah program yang luar biasa, terkait pengumpulan seluruh inskripsi, manuskrip-manuskrip al-Qur’an dan tafsir masa lalu, di berbagai negara, dari berbagai masa, lengkap dengan berbagai komentar dan kajiannya,”jelasnya.
Karena itu, Syahiron menyatakan ketertarikannya pada gagasan penyusunan tafsir Cirebon, yang menurutnya tidak hanya disusun berdasarkan metode tematik (maudhu’i) atau tahlili, tetapi juga lebih jauh dari itu.
Sejalan dengan itu, Sholeh seorang peserta forum yang juga doktor pengajar Quranic Studies di Amerika, juga menyatakan ketertarikannya dengan gagasan penyusunan tafsir Cirebon. Ia mengusulkan sebaiknya tafsir Cirebon yang dimaksud adalah tafsir yang menampilkan Islam sebagai agama damai dan rahmatan lil ‘alamin. Karena berdasarkan pengalamannya mengajar Quranic Studies di Amerika, nyatanya mahasiswanya, yang tentu saja banyak dari Barat, lebih mengenal Islam sebagai agama kekerasan, dan bukan agama damai.
Seorang pengurus PCNU Cirebon yang hadir, yang akrab dipanggil Kang Opik dari pesantren Gedongan, juga menyatakan ketertarikannya pada gagasan penyusunan tafsir ini. Ia mengusulkan bahwa sebaiknya tafsir Cirebon yang dimaksud adalah tafsir yang bukan hanya merujuk tafsir-tafsir yang sudah ada, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang actual berkembang. Karena itu ia mengusulkan bukan untuk menyusun tafsir al-Qur’an Cirebon tetapi lebih pada ta’wil al-Qur’an Cirebon.
Pengurus PCNU Cirebon lainnya, KH. Wawan Arwani dari Pesantren Buntet tidak banyak membahas gagasan tafsir Cirebon ini. Ia banyak menceritakan pengalamannya terkait terdesaknya kalangan nahdiyin (warga NU) Cirebon oleh kalangan non NU. Ia setuju sekali kalau ada gerakan bersama menyikapi gerakan wahabi di Cirebon.
Kang Hasan Maarif, peserta dari kalangan Jurnalis Senior Cirebon menanggapi gagasan penyusunan tafsir Cirebon ini. Menurutnya gagasan ini sangat menarik, tetapi jika yang dimaksud tafsir Cirebon adalah tafsir berbahasa Cirebon maka sebaiknya mengikuti kaedah bahasa Cirebon yang sekarang ini sedang dalam proses standarisasi.
Kalangan jurnalis lainnya, Kang Diding, PU Harian Kabar Cirebon, menyatakan bahwa sebenarnya gagasan tafsir Cirebon itu menarik, tetapi yang mendesak bagi masyarakat bahwa adalah perlunya langkah-langkah riil dari kalangan NU. Agar NU selalu hadir dalam tiap event yang dialami masyarakat.
“Dalam hal ini kalangan NU kurang cekatan dalam melakukan ‘branding’ bagi dirinya, misalnya saja di musim mudik PKS bikin pos mudik, dalam situasi bencana PKS bikin pos bantuan, tetapi NU tidak terlihat tidak melakukan apa-apa. Mungkin saja banyak orang dan kalangan NU melakukan pertolongan tetapi tidak dikemas dan tidak terlihat media”, jelas Diding. Untuk itu harian Kabar Cirebon yang ia pimpin, akan memberikan porsi seluas-luasnya bagi pemberitaan NU dan menerima tulisan-tulisan dari kalangan NU Cirebon.
Pembicaraan forum terus bergulir, mengarah pada pembicaraan prioritas penggarapan, apakah lebih penting melakukan gerakan anti Islam radikal di Cirebon ataukan melakukan penyusunan Tafsir Cirebon? Forum seakan terbagi menjadi dua kubu, yang setuju penggarapan gerakan anti wahabu terlebih dahulu atau penyusunan tafsir terlebih dahulu.
Forum kemudian ditengahi oleh KH. Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir. Kang Faqih, panggilan akrab Faqihuddin Abdul Kodir, menyatakan,
“Sebaiknya dalam hal memandang gerakan Islam radikal di Cirebon, kita tidak menyikapinya dengan psikologi keterancaman. Karena menurut Kang Faqih, kelompok Islam radikal pun sebenarnya merasa terancam oleh kita kaum nahdhiyin. Jadi sebaiknya ini dilakukan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Yang mampu melakukan penulisan tafsis silahkan menulis tafsir, yang mampu melakukan gerakan-gerakan praktis membendung wahabi, silahkan melakukannya secara terkordinasi, terpogram, dan jangan gerakan reaktif karena merasa terancam saja”.
Setelah diskusi forum berjalan hamper dua jam, Mas Zek sebagai moderator kemudian memetakan gagasan-gagasan yang berkembang. Menurut direktur Fahmina dan juga pengurus PCNU Cirebon ini, bahwa sebaiknya gagasan yang satu tidak menafikan gagasan yang lain. Sesungguhnya yang satu tidak harus dipriorotaskan dari yang lain. Tinggal berbagi tugas saja, siapa saja yang akan melaksanakan pembendungan gerakan Islam radikal di Cirebon, dan siapa saja yang akan menyusun Tafsir Cirebon.
Menutup acara ini Mas Zek memberi komentar penegasan bahwa: “Forum ini bukan dimaksudkan sebagai workshop, seminar ataupun forum untuk merumuskan sesuatu, tetapi meski demikian forum ini sangatlahh penting, untuk curhat dan melihat apa saja yang sesungguhnya menjadi keresahan dan ide kita bersama. Tentu saja untuk menindak lanjutinya perlu forum yang lebih serius lagi. Mungkin saja gagasan yang berkembang akan dilaksanakan, dan mungkin saja gagasan penyusunan tafsir Cirebon, jika belum ada yang melaksanakan, ISIF bersedia menjadi pelaksananya.”(alm)
No comments:
Post a Comment