Semarang ( Berita ) : Seorang pengamat politik di Semarang mengatakan, perwakilan dari partai politik (parpol) sebaiknya tidak mengisi jabatan menteri yang memimpin departemen pada pengisian kabinet pemerintahan baru yang akan datang.
“Pengisian kabinet memang tergantung kompromi Presiden dengan wakil partai politik, tetapi figur dari parpol bisa mengisi untuk kementerian negara dan menteri koordinator (Menko) saja, tidak untuk menteri departemen,” kata pengamat yang juga pakar hukum tata negara Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Isharyanto di Semarang, Rabu [15/07].
Isharyanto mengatakan, untuk jabatan menteri yang memimpin departemen sebaiknya diisi oleh figur profesional karena menteri tersebut akan mengeluarkan produk hukum yang bersinggungan dengan publik sehingga sebaiknya dijauhkan dari pertimbangan politik.
Oleh karena itu, sebaiknya figur parpol mengisi untuk Menko Perekonomian, Menko Kesra atau Menko Polhukam. Jabatan kementerian negara seperti perumahan rakyat atau pemuda dan olahraga juga bisa diisi dari figur parpol.
Ditanya apakah tidak sebaiknya figur parpol tidak menempati jabatan “basah” untuk mengurangi terjadinya korupsi, menurut Isharyanto, sebenarnya hal tersebut dapat ditekan dengan adanya kontrak politik. “Seperti tahun 2004, ada kontrak politik bagi menteri yang diindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme diminta mundur,” katanya.
Menurutnya, sebaiknya presiden mendatang sebelum menentukan siapa saja yang masuk dalam susunan kabinet dan tidak perlu diumumkan secara formal, para kandidat menteri sebaiknya dipanggil terlebih dulu.
Pemanggilan tersebut dimaksudkan agar masyarakat dapat memberi masukan atau penilaian terhadap susunan kabinet tersebut dan tidak perlu diumumkan ke publik secara formal.
“Kalau diumumkan secara formal ke publik, bisa saja melangkahi kewenangan penuh presiden dan presiden dianggap tergantung kepada pihak luar. Oleh karena itu, masyarakat tetap akan mengetahui susunan kabinetnya tetapi secara informal,” katanya.
Siapa saja yang masuk dalam susunan kabinet dari partai politik, Isharyanto berpendapat, sebaiknya diukur dengan kekuatan jumlah kursi di parlemen dari masing-masing parpol.
Soal jumlah, presiden harus mengacu kepada UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang menyebutkan bahwa ada 34 bidang yang harus ditangani oleh kementerian.
“Artinya, angka yang ditetapkan dalam UU tersebut adalah jumlah sektor yang bisa diurus oleh organisasi pemerintahan dalam bentuk kementerian,” katanya.
Jika presiden ingin menambah atau mengurangi jumlahnya, maka harus seizin dari DPR. ( ant )
No comments:
Post a Comment