JAKARTA - Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kemarin mengajukan uji materiil UU No 1/Pnps/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Undang-undang itu dianggap diskriminatif dan melanggar kebebasan beragama, sehingga bertentangan dengan pasal 28 huruf e dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Bunyi pasal 1 undang-undang yang diperkarakan adalah ''setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, ataumengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu atau penafsiran dan kegiatan.''
Kuasa hukum pemohon, Febi Yonesta, menuturkan bahwa undang-undang tersebut mengutamakan enam agama yang diakui pemerintah. Yakni, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. UU tersebut juga dinilai mengecualikan beberapa agama samawi serta aliran kepercayaan lain yang lebih dulu berkembang di Indonesia dengan tidak menyebutkannya dalam undang-undang. ''Ini pelanggaran ketentuan kesamaan di depan hukum,'' tegasnya.
Kuasa hukum lain, Choirul Anam, menyatakan, pasal 2 UU No 1/1965 dan pasal 156 huruf a yang berisi ancaman pidana bagi organisasi dan pribadi yang melanggar ketentuan sesuai pasal 1 mencerminkan negara tidak melindungi dan menjamin kebebasan beragama sesuai pasal 28 huruf e dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Pemohon juga menilai pasal 4 UU tersebut membuat pelaksanaannya mengharuskan diambil tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batas permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama. ''Berpihaknya negara atau pemerintah pada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap aliran atau tafsir lain yang hidup di Indonesia,'' ujar Anam.
Menanggapi permohonan tersebut, hakim konstitusi Achmad Sodiki bertanya kepada pemohon, jika pasal tersebut dihapus dan terjadi suasana kacau karena ada penodaan agama, bagaimana penyelesaiannya? ''Majelis harus mempertimbangkan manfaat dan mudarat bila pasal itu dicabut sesuai tuntutan pemohon,'' katanya.
Hakim konstitusi Arsyad Sanusi. Dia mempertanyakan dasar hukum yang akan digunakan pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan di masyarakat bila terjadi penodaan suatu agama tertentu. (noe/agm)
No comments:
Post a Comment