JAKARTA - Tekad bersih dari politik praktis telah menjadi semangat bersama sejumlah kandidat ketua umum PB NU di dalam muktamar NU mendatang. Sebaliknya, isu liberalisme dianggap sudah tidak lagi relevan dalam menentukan pemimpin terbaik organisasi massa Islam terbesar di Indonesia tersebut.
"Asal bersih dari politik praktis, tidak masalah jika mempunyai pemikiran liberal," ujar Ketua PB NU Said Aqil Siradj usai acara diskusi di ruang FPKB, kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (19/11). Menurut dia, selama tidak keluar dari teks, konteks, dan kaidah keislaman, liberalisme justru perlu terus dikembangkan di NU.
"Justru kalau ada yang mempersoalkan (liberalisme), itu bukti mereka tidak mengetahui sejarah pemikiran Islam," tambah salah seorang kandidat ketua umum PB NU tersebut. Sebab, akibat pemikiran liberal yang sudah ada sejak Khalifah Abu Bakar, peradaban Islam bergerak menjadi cukup dinamis.
Menurut Said, yang jauh lebih penting diantisipasi adalah tercemarnya salah seorang kandidat dari kepentingan politik praktis. "Ini syarat kalau NU mau berhasil melakukan pemberdayaan untuk umat," ujarnya.
Selain Said, beberapa nama lain disebut-sebut menjadi kandidat ketua umum PB NU dalam muktamar di Makassar nanti. Mereka, antara lain, Masdar Farid Mas'udi dan Slamet Effendy Yusuf. Tokoh muda NU Ulil Abshar Abdalla juga dikabarkan akan meramaikan bursa kandidat. "Asal tak terkontaminasi politik praktis, semua boleh," tandas Said. Sedangkan untuk pos rais am, KH Sahal Mahfud tetap kandidat terkuat. Nama lain ialah Mustofa Bisri, Hasyim Muzadi, dan Tolchah Hasan.
Masdar F. Mas'udi pun berpendapat bahwa syarat bebas dari politik praktis merupakan keharusan. "Agar NU tidak diseret-seret terus ke kepentingan politik jangka pendek seperti selama ini," katanya.
NU, lanjutnya, harus benar-benar menegakkan semangat khitah 1926. "Harus dimulai dari ketua umum dulu, ini penting sebagai contoh dan figur," tambah Masdar. (dyn/tof)
No comments:
Post a Comment