Saturday, December 26, 2009

Menelusuri Penyamaran Lima Bulan Buron ''Kakap'' Baridin

Sumber Jawapos : Sabtu, 26 Desember 2009

Baridin, buron polisi jaringan teroris Noordin M. Top yang Kamis (24/12) ditangkap petugas, dikenal gampang beradaptasi dengan warga. Sikapnya yang santun membuat dirinya berhasil menarik simpati para tetangga di tempat persembunyiannya di Garut, Jawa Barat. Bagaimana Baridin menyamar di sana?

ARI MAULANA K., Garut

KALEM, ramah, polos, dan sorot matanya tajam. Itulah kesan pertama warga Kampung Banyuasih, Desa Pamalayan, Cikelet, Kabupaten Garut, ketika pertama melihat sosok Baharudin Latif alias Baridin pada Juli 2009. Berdasar keterangan warga, Baridin mulanya meminta pekerjaaan kepada Tatang, seorang nelayan di Pelabuhan Cilautereun Santolo. Dia mengenalkan diri dengan nama Usman.

Oleh Tatang, Baridin diajak melaut untuk mencari ikan. Mungkin karena tak biasa melaut, dia mabuk laut. Pria 54 tahun itu lalu dipulangkan ke rumah Tatang dan menginap semalam. Selanjutnya, Baridin tinggal di masjid Kampung Banyuasih. Karena kasihan melihat Baridin, Agus Suharna, warga RT 05/10, Kampung Banyuasih, mengajaknya menginap di rumahnya.

''Dia pintar mengaji, rajin salat. Selama tinggal di rumah, dia menjadi guru ngaji anak-anak kami setiap habis magrib. Dia tinggal di sini selama 50 hari,'' kata Firoh, istri Agus, tentang Baridin yang berasal dari Pesuruhan, Kecamatan Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, itu.

Setelah hampir sebulan di Kampung Banyuasih, Baridin dikunjungi anak ketiganya yang mengaku bernama Arif. Padahal, nama asli pemuda 23 tahun itu adalah Ata Sabik Alim. Tapi, Baridin, bapak tujuh anak tersebut, memanggil putranya itu dengan sebutan Mamat.

Tak ada warga yang curiga bahwa Baridin adalah buron yang berbahaya. Saat menggerebek rumahnya di Pesuruhan, Kecamatan Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, Juli 2009, petugas Densus 88 menemukan bahan dan peralatan bom yang ditanam di sebuah pekarangan.

Di Garut, pria yang salah seorang putrinya, Ariani Rahmah, menikah dengan gembong teroris Noordin M. Top itu diterima warga setelah menyatakan berniat membuka usaha pembuatan gula dari sari kelapa. Agus Suharna, seorang warga, bahkan langsung membuatkan saung (gubuk) kecil di dekat rumahnya sebagai tempat usaha dan berteduh. Sepuluh hari sebelum penangkapan, tepatnya 14 Desember lalu, Baridin memindahkan gubuknya ke tengah perkebunan, bergabung dengan saung para pembuat gula lain.

''Perilakunya cukup sopan. Bahkan, jika bertemu saya di jalan, pasti membungkuk untuk memberi hormat dan mengajak bersalaman,'' jelas Elan Suherlan, 50, ketua RT 03/10 Kampung Banyuasih.

Namun, menurut Pandi Supandi, 55, ketua RT 05/10, Desa Pamalayan, Baridin selalu bersikap tertutup. Ketika diajak berbicara masalah teroris saat Noordin tewas di Solo dan ramai diberitakan televisi, dia malah balik bertanya arti teroris. Saat itu, menurut Pandi, warga lain memercayai Baridin tidak mengerti masalah tersebut. ''Kalau diajak ngobrol masalah politik, dia selalu menghindar dan terkesan tidak tahu," ungkapnya.

Karena itu, saat Baridin ditangkap Densus 88 pada Kamis sekitar pukul 04.00 dan dilaporkan sebagai buron polisi yang juga mertua gembong teroris Noordin M. Top, warga Kampung Banyuasih geger. Mereka terkejut seolah tidak percaya. ''Saya baru sadar setelah melihat foto Baridin di televisi saat penangkapan di kampung saya. Ternyata Usman adalah teroris yang dicari polisi,'' tegas Pandi.

Sebagai ketua RT, Elan dan Pandi mengaku pernah meminta warganya untuk mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP), terutama bagi para pendatang baru, termasuk Baridin saat pertama datang ke Kampung Banyuasih. Namun, Baridin meminta waktu karena menunggu indentitas anggota keluarganya yang lain yang disusulkan dalam waktu dekat.

''Dia janji memberikan kopian KTP bersamaan dengan keluarganya. Setelah itu, di desa kami ada gempa (Garut mengalami gempa pada 2 September, Red). Kami sampai lupa menagih lagi karena sibuk membantu korban. Banyak rumah warga yang rusak,'' kata Pandi.

Setelah bencana gempa, Baridin menolak dimasukkan dalam daftar penerima bantuan dari pemerintah. ''Kami sempat menuliskan nama Usman bersama korban lain, tapi dia menolak,'' ujarnya.

Meski pendatang baru yang bekerja serabutan, menurut Pandi, Baridin selalu punya uang lebih. Pria asal Cilacap itu bahkan bisa membangun sumur bor di dekat gubuknya. Padahal, tidak banyak warga yang mampu membangun sumur bor untuk air bersih di kampung tersebut. Selain itu, Baridin mampu membeli peralatan untuk memulai usaha pembuatan gula, termasuk wajan berukuran besar, cetakan gula, hingga mengontrak lahan pohon kelapa.

Hal yang sama diakui Samino, 37, pembuat gula dari Pangandaran. Dia menceritakan, Baridin menolak tawaran modal untuk produksi dan biaya hidup dari bandarnya. ''Padahal, Baridin menjual gula buatannya kepada bandar tersebut,'' katanya.

Samino mengungkapkan, Baridin juga telah pamit untuk pulang ke kampungnya pada Kamis pagi (24/12), saat penggerebekan. ''Usman (Baridin) sempat meminjam helm kepada saya sekalian pamit pulang. Ternyata, Kamis subuh ditangkap polisi,'' katanya.

Pandi menambahkan, sebelum ditangkap, Baridin juga sempat menerima kiriman motor Astrea berpelat nomor Jakarta. Menurut pengakuan Baridin, kata Pandi, motor itu pemberian kerabatnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat itu, motor tersebut diantar menggunakan mobil bak terbuka. Selain motor, ada barang yang dikemas dalam beberapa kardus.

Selain pandai mengaji dan rajin salat berjamaah di masjid, menurut Pandi, Baridin pintar memperbaiki instalasi listrik di rumah warga. Hal itu pernah dialami Pandi saat sambungan listrik di rumahnya rusak karena gempa. Padahal, Pandi telah menyiapkan uang untuk membayar tukang listrik.

''Saat itu Baridin menawarkan jasanya untuk memperbaiki instalasi listrik di rumah, meski saya tidak pernah tahu dia bisa atau enggak. Eh ternyata dia bisa, listrik di rumah kami menyala,'' ungkapnya.

Sebagai teroris yang terlatih, Baridin memang memiliki kemampuan lebih jika dibanding warga lain, termasuk meracik bom dengan bahan dan peralatan sederhana. Dia pernah mengenyam pendidikan militer di Afghanistan selama dua tahun pada periode 1989-1990, hanya selisih dua angkatan dengan Ali Imron, adik Amrozi, teroris yang telah dieksekusi mati. (jpnn/iro)

No comments: