Saturday, December 26, 2009

Wajah Aceh Lima Tahun Pascatsunami


Setelah lima tahun, trauma akibat tsunami yang melanda wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) agaknya mulai hilang. Musibah yang dipicu gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala Richter (SR) tersebut menelan sekitar 127 ribu warga Aceh serta puluhan ribu warga 13 negara lain di Asia dan Afrika. Bagaimana wajah provinsi yang dijuluki Serambi Makkah itu saat ini?

---

TAK ada yang menyangka bahwa pemulihan Aceh berlangsung secepat ini. Kehidupan masyarakat Aceh yang sempat porak-poranda akibat musibah tersebut berangsur-angsur normal lagi. Semua fasilitas publik yang digarap beramai-ramai oleh pemerintah, negara-negara donor, dan sejumlah lembaga mulai berfungsi. Jalan-jalan kembali lebar dan halus. Sektor ekonomi menggelinding pesat. Bisa dikatakan, saat ini Aceh memasuki era baru kehidupan.

Berdasar pengamatan Jawa Pos di Aceh selama beberapa hari ini, rupanya, trauma akibat tsunami itu benar-benar tuntas. Warga, agaknya, tidak mau mengingat (atau teringat) lagi bencana yang menelan banyak jiwa tersebut. Mereka pun mulai berlomba-lomba menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Lihat saja wajah Kota Banda Aceh. Lima tahun lalu, kota itu hancur dan porak-poranda. Banyaknya korban membikin Banda Aceh seperti kota mati.

Menurut Wali Kota Banda Aceh Mawardi Nurdin, di wilayahnya setidaknya 62 ribu korban meninggal dunia. Delapan puluh persen fasilitas publik rusak berat. Lalu, ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Banyak yang pesimistis berapa dana dan waktu yang diperlukan untuk memulihkan ibu kota NAD saat itu.

Namun, Banda Aceh bangkit lebih cepat daripada yang diperkirakan. Dalam lima tahun, Banda Aceh berubah menjadi kota modern lagi. ''Ini karena masyarakat Aceh punya semangat pantang menyerah yang tinggi. Mereka sudah tahan uji,'' kata Mawardi kepada Jawa Pos.

Pembangunan di Banda Aceh terus berlangsung. Di sudut-sudut kota bertumbuhan ruko-ruko. Ini menandakan sektor perdagangan di kota tersebut mulai bergairah lagi. Jalan-jalan protokol juga disesaki lagi oleh ratusan kendaraan pribadi yang umumnya baru. Setidaknya, itu mengindikasikan bahwa kemampuan dan daya beli masyarakat meningkat kembali.

Fasilitas umum juga cukup menjanjikan saat ini. Pelayanan publik di Banda Aceh sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan dengan kota lain.

Secara umum perekonomian NAD berdenyut lagi. Nelayan kembali melaut. Petani juga bisa bercocok tanam dengan hasil optimal. Saat musibah lalu, sedikitnya 13.828 nelayan kehilangan perahu. Setelah lima tahun pascatsunami, kapal atau perahu milik nelayan sudah mencapai 7.109 unit.

Beberapa pemerintah kota maupun kabupaten di NAD juga getol membikin layanan publik satu atap. Para pegawai bekerja di gedung-gedung perkantoran yang megah dan berarsitektur modern.

Padahal, saat tsunami, sekitar 6 ribu pegawai negeri sipil (PNS), Polri, dan TNI di Aceh tewas atau hilang. Pascabencana itu Aceh mengisi kekosongan aparatur. Pengangkatan pegawai dan pembangunan kembali perkantoran yang hancur dilakukan. Dari 669 kantor yang rusak di seluruh wilayah Aceh saat tsunami lalu, program rehabilitasi justru berhasil membangun 996 kantor.

Mantan Direktur Pengembangan Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Institusi, dan Masyarakat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) Saifullah Abdulgani menuturkan bahwa selama bertugas, pihaknya terus menggenjot pertumbuhan pegawai. ''Kami mengadakan banyak pelatihan untuk peningkatan kapasitas mereka,'' tutur alumnus ITS Surabaya tersebut. Prinsipnya, begitu diterjunkan ke tempat baru, mereka sudah fungsional.

Salah satu pelatihan terkait bidang pendidikan. Saat tsunami lalu, Aceh kehilangan 1.900 guru dari berbagai jenjang. Pascatsunami, penyediaan guru berlangsung cukup pesat. ''Sebelum masa tugas kami berakhir, BRR menyiapkan 39 ribu guru. Mereka siap mengajar semua,'' ungkapnya.

Rumah-rumah bantuan juga sudah terdistribusikan kepada semua korban. Meski sederhana, mereka telah memiliki minimal tempat berteduh dan membangun kehidupan lagi. Lima tahun lalu, sedikitnya 139.195 rumah rata dengan tanah di seluruh Aceh. Hingga kini 140.134 rumah telah dibangun kembali.

Rumah-rumah itu dibangun berkat uluran tangan LSM dan beberapa negara donor, serta pemerintah yang dikoordinasikan BRR. Permukiman bantuan tersebut tertata apik dan seragam. ''Kami senang tinggal di sini. Dulu kami tinggal di rumah kayu, sekarang punya rumah permanen,'' cerita Syarifudin, warga Jalan Belanak, Kampung Alun Naga, Kecamatan Syah Kuala, Banda Aceh.

''Prinsip kami adalah menghunikan kembali warga yang kehilangan tempat tinggal. Tak peduli kaya atau miskin, bagiannya sama,'' kata Kamal Farza, mantan direktur prakarsa pembangunan partisipatif BRR.

Jalan-jalan di Aceh juga tumbuh pesat. Akibat tsunami lalu, sedikitnya 2.618 km jalan rusak parah. Bahkan, sebagian musnah. Kini, pertumbuhan jalan mencapai 30 persen dari yang ada. Total jalan yang ada di sana saat ini mencapai 3.696 km. Pertumbuhan jembatan juga pesat. Dalam lima tahun, jumlah jembatan yang dibangun lebih dari dua kali lipat. Sebelumnya, 119 jembatan rusak. Kini sudah terbangun 363 jembatan yang menghubungkan antarwilayah.

Di sepanjang pinggir Pantai Loknga, Aceh Besar, terbentang jalan baru bantuan USAID (lembaga pemerintah AS yang menyediakan bantuan ekonomi dan kemanusiaan di seluruh dunia). Jalan sepanjang 40 km yang menghubungkan Banda Aceh dan Calang itu cukup halus dan luas. Saat melintas di jalan itu, terasa seperti melewati jalan tol di Jakarta. Kualitas jalan itu jelas lebih baik jika dibandingkan dengan lima tahun silam.

Juru Bicara Badan Kesinambungan Rehabilitasi Aceh Juanda Djamal membenarkan bahwa kemajuan Aceh akhir-akhir ini sangat pesat. ''Saya mengutip pernyataan wali kota Banda Aceh bahwa Aceh yang sekarang 30 tahun lebih maju,'' katanya kemarin. ''Begitu pula halnya dengan Kabupaten Simeleue (kabupaten pulau sekitar 150 km di lepas pantai barat Aceh, Red) yang juga jadi korban tsunami. Menurut kepala daerah di sana, mereka lebih maju 50 tahun,'' tambahnya. (anggit satriyo/dwi)

No comments: